Perspekstif sosial
ekonomi dari konflik bisa dilihat dalam beragam pandangan. Kalau pendekatan
tradisional konflik selalu dikaitkan dengan faktor sejarah, perbedaan budaya,
kebencian antar kelompok. Maka pendekatan sosial ekonomi dalam konflik lebih bersifat empiris dan aplikatif, sehingga
intervensi-intervensi kebijakan bisa diidentifikasi secara lebih jelas.
Perspektif-perpektif tersebut mencakup pendapatan, kemiskinan, pendidikan,
ketimpangan, demografi, sumberdaya alam. Dan juga terdapat perpektif sosial ekonomi dari konflik untuk
kasus-kasus di Indonesia.
Kata
Kunci
Sosial,
Ekonomi dan Konflik
Pendahuluan
Konflik ekonomi setidaknya ada empat model yang
selalu menjadi diskursus dalam kajian pembangunan ekonomi dan konflik. Model pertama menurut
Hirshleifer (1991) mengenai perdagangan antara produksi dan pemasaran. Setiap
kelompok menurut Hirshleifer, memiliki sumber daya tetap, yang dapat digunakan
untuk memproduksi barang-barang untuk konsumsi atau mempersenjatai untuk
melawan kelompok lain (Hirshleifer, 1995).
Model ekonomi konflik kedua, menurut Skaperdas,
(2002) adalah perdamaian di bawah bayang-bayangan perang. Perdamaian bersenjata
adalah lebih baik untuk semua pihak, karena kerjasama dapat lebih optimal
dibandingkan pertempuran. Pertempuran atau peperangan terjadi karena informasi
yang tidak utuh diterimana. Kemudian ditambah banyangan masa depan yang
panjang, tidak menentu, makanya lebih baik harus melenyapkan setiap lawan.
Model ketiga menurut Grossman (1991), memakai teori
pemberontakan terhadap negara berkembang, hubungannya dengan kaum tani dengan
pengutipan pajak yang tinggi. Dan
yang terakhir, Addison dan Murshed (2001) menekankan pada suatu model fungsi
utilitas dari pemerintah pusat atas pilihan antara memerangi kelompok
pemberontak atau memberi bantuan biaya kepada kelompok pemberontak.
Ekonomi penyebab konflik
Ada tiga unsur ekonomi sebagai penyebab konflik.
Pertama adalah keserakahan (greed). Perebutan sumber daya alam sering sekali
menjadi contoh dalam keserakahan yang mengakibatkan menjadi konflik.
Keserakahan ini selalu bermuara pada keuangan, pendapatan, rekrutmen sumber
daya, dan giografi daerah. Unsur kedua adalah keluhan (grievance). Keluhan
dalam unsur ini adalah berkaitan keadilan. Motivasi mencari keadilan untuk
kemaslahatan semua. Unsur ketiga adalah kontrak sosial (social contract).
Kontrak sosial biasanya bersifat vertikal, antara pemerintah lokal dengan
pemerintah pusat (sentralisasi). Dan kontrak sosial bersifat horizontal antara
daerah ataw sesama masyarakat (desentralisasi).
Selain unsur keserakahan, keluhan dan kontrak
sosial yang menjadi konflik. setidaknya ada 5 unsur lain yang menjadi akar
konflik dalam pembangunan.
- Tingkat pembangunan (kesejahteraan): pendapatan, pendidikan, kemiskinan, pembangunan manusia yang rendah.
- Sumber daya alam
- Ketimpangan/kesenjangan
- Perdagangan
- Demokrasi
Ada juga konsekuensi dari sosial ekonomi
diantaranya adalah pengrusakan yang dilakukan manusia, adanya pengalihana
sumber daya dari kegiatan yang produktif kepada kegiatan pengahancuran yang
akan berdampak ganda bagi kerugian masyarakat. Konsekuensi lain tentu akan
mengganggu kegiatan ekonomi dalam jangka waktu tertentu, melemahkan kinerja
pelaku ekonomi dan peningkatan kriminalitas.
Menurut Keynes, (1920), faktor ekonomi memiliki
konsekuensi bagi perdamaian. Keynes merincikan pendapatnya dalam lima poin
sebagai contoh bagi eropa;
- Mengkritik Versailles Peace Treaty yang mengakhiri Perang Dunia I sebagai Carthaginian peace.
- Suatu perlakuan yang tidak adil dari Jerman, yang dipaksa untuk membayar pemenang jumlah yang sangat besar dalam perbaikan.
- Akan mengarah pada kehancuran ekonomi Jerman dan mengakibatkan konflik lebih lanjut di Eropa.
- Perdamaian tidak bisa berkelanjutan di Eropa
- Perjanjian Versailles memunculkan gerakan nasional sosialis di Jerman yang membawa Adolf Hitler berkuasa.
Perspektif
dari Indonesia
Konflik sosial dalam perspektif Indonesia kontemporer
setidaknya memiliki empat varian. Yaitu
varian separatis, etnis, kekerasan, dan konflik pilkada (Tadjoeddin, 2011).
Keempat varian konflik itu sering kali terjadi di Indonesia terutama setelah
tumbangnya pemerintahan otoriter orde baru. Berikut pembahasan varian konflik
secara deteil.
(1) Konflik Separatis
Setidaknya pasca orde baru, konflik separatis di
Indonesia muncul dengan eskalasi yang beragam. Provinsi Aceh, Papua, Maluku,
Riau dan Kalimantan Timur adalah dari sekian yang mengalami konflik separatis.
Konflik antara pemerintah pusat dan daerah yang ingin memisahkan diri dari
federasi atau setidaknya memiliki beberapa derajat aspirasi separatisme.
Kemunculan konflik separatis ini karena konvergensi
di seluruh daerah, merasa sumber daya yang kaya, ketidaksejahteraan
masyarakat, ketidaksetaraan, kemarahan
dalam keadilan dan terakhir bisa jadi karena keserakahan dan keluhan
Sebab lain kemunculan konflik separatis karena
ketidaksenangan terghadap sistem sentralisasi. Setidaknya ada tiga reaksi terhadap
sistem sentralisasi :
- Peningkmat
Daerah
seperti pulau Jawa yang kurang sumber daya alamnya, sangat menikmati manfaat
sistem sentralisasi masa Order Baru yang otoriter. Dan gagasan kekuasan sangat
banyak berasal dari budaya Jawa yang memiliki cirri paternalistik.
- Kurang Senang
Non-Jawa
miskin sumber daya alam daerahnya merasa tidak senang dengan gaya sentralistik
dan otoriter rezim, tetapi mengakui bahwa mereka diuntungkan dari subsidi
pemerintah pusat.
- Penantang
Non-Jawa
yang kaya sumber daya alam daerahnya merasa diperlakukan tidak adil karena
mereka merasa mensubsidi skema pemerataan kebijakan Orde Baru kepada daerah
lain.
(2) Konflik Etnis
Konflik etnis adalah perdebatan atau perselisihan
antar kelompok etnis terkait dengan masalah politik, ekonomi, sosial budaya
atau wilayah. Bisa juga di artikan konflik antara kelompok-kelompok etnis yang
berbeda tanpa keterlibatan negara formal dan tidak ditujukan terhadap negara.
Konflik etnis sifatnya adalah horizontal, terjadi
karena adanya berlainan interaksi antar kelompok etnis dalam berbagai ragam
permasalahan. Ada juga terjadi konflik etnis karena perubahan posisi untuk
mencari keadilan antar etnis. Dan indikasi lain adalah terpelajar tapi miskin
(3) Kekerasan Rutin
Dapat digambarkan secara umum dengan lima bentuk
kekerasan rutin yang terjadi sehari-hari di Indonesoa.
- Kekerasan yang kambuh, setelah sebelumnya kedua pelaku kekerasan telah dipertanggungjawabkan.
- Kekerasan main hakim sendiri atau pengadilan rakyat. Kekerasan antar kelompok atau perkelahian linkungan.
- Kekerasan yang terkait dengan frustasi sosial. Misalnya akibat hukum yang lemah (keadilan) dan ketertiban seperti dalam kasus pelaku pengadilan rakyat (negara lemah)
- Mungkin disebabkan oleh penurunan sosial ekonomi dan tingkat yang lebih rendah dari pembangunan manusia. Dan adanya kekerasan karena dibiayai
- Juga adanya hubungan kekerasan dengan tingkat pendidikan. Dalam kasus tertentu tingkat pendidikan masyarakat sangat erat kaitannya dengan peningkatan kasus kekerasan.
(4)
Kekerasan Pilkada
Kekerasan dalam dalam konflik sosial di Indonesia
lainnya adalah karena pelaksanaan Pilkada. Pilkada telah menjadi kekerasan
model baru yang selalu dialami oleh para kontestan ataupun para tim
pemenangannya. Hal ini karena ;
- Menjadi bagian dalam bentuk kekerasan yang rutin juga, terutama terkait dengan proses pemilihan - konflik Pilkada.
- Beberapa bukti hipotesis modernisasi
- Permusuhan dalam kekerasan Pilkada berkorelasi dengan
-
Rendahnya pendapatan,
-
Tinggi kemiskinan
-
Rendanya pembangunan manusia
- Dan kurang urbanisasi
Penutup
Sosial
ekonomi dalam perspektif konflik memiliki beragam dinamika. Baik positif maupun
negatif dalam sebuah perdamain maupun pembangunan. Setidaknya ada tiga unsur
besar dalam kajian sosial ekonomi yang berdampak bagi masyarakat. Diantaranya
adalah keserakahan (greed), keluhan (grievance) dan
kontrak sosial (social contract). Dalam kontek
Indonesia, sosial ekonomi dalam
perspektif konflik selalu bermain pada tataran konflik dengan basis separatis,
konflik etnis, konflik kekerasan rutin dan konflik dengan domain Pilkada. Jadi
menyelesaikan akar persoalan konflik dalam perspektif sosial ekonomi,
akan menjadi garansi negara pada masa depan memiliki prospek kemajuan.
Referensi
M.
Murshed, Z. Tadjoeddin and A.
Chowdhury, 2009. ‘Is Fiscal Decentralization Conflict Abating? Routine Violence
and District Level Government in Java, Indonesia,’ Oxford Development Studies, 37 (4): 397 – 421.
Z.
Tadjoeddin, 2011. ‘The economics of conflict: A survey.’ University of Western
Sydney.
Z. Tadjoeddin, 2011. ‘Electoral conflict and the maturity of local
democracy: Testing the modernization hypothesis.’,
Z.
Tadjoeddin and A. Chowdhury, 2009. ‘Socio-economic Perspectives on Violent
Conflict in Indonesia,’ Economics of Peace and Security Journal 4(1):
39-47.
Z. Tadjoeddin, A.
Chowdhury and M. Murshed, 2012. ‘Routine Violence in the Island of Java,
Indonesia: Neo-Malthusian and Social Justice Perspectives’ in Jürgen Scheffran
et. al. (eds.) Climate Change, Human Security and Violent Conflict,
Hexagon Series, Vol. VIII, Springer: Germany (forthcoming).
Z. Tadjoeddin,
2009. ‘Grievance, Greed and Cooperation: Localized Ethnic Violence during
Indonesia’s Democratic Transition.’ Paper for the 5th Australasian
Development Economic Workshop (ADEW), Melbourne, 4-5 June 2009.
Z. Tadjoeddin
and M. Murshed, 2007. ‘Socioeconomic Determinants of Everyday Violence in
Indonesia: An Empirical Investigation of Javanese Districts,
0 comments:
Post a Comment