Mengawal Pendidikan Aceh

Posted by





Mari sejenak kita melirik ke ranah pendidikan Dayah. Lupakan sebentar hiruk pikuk politik Aceh yang selalu hawanya panas. Politik memang menyenangkan dibicarakan dan dapat membius kita untuk menerka pihak-pihak yang menenggelamkan dan memajukan Aceh. Politik menjadi penting, bila digunakan dalam bentuk soft power untuk memajukan Aceh melalui pendidikan dan ekonomi.
Aceh dulunya adalah sebuah bangsa yang bermartabat. Bangsa dengan segala kebanggaan dalam semua lini. Pendidikan, ekonomi, teknologi, pemikiran Islam dan jaringan politik yang mandiri menjadi marwah kebanggaan Aceh di level International pada masa silam. Kemajuan itu, tentu karena keilmuan menjadi basis utama dalam segala gerakan masyarakat Aceh dulu.


Bagaimana dengan hari ini ? Apa yang bisa kita banggakan dari Aceh ? Jawabanya ada pada masing-masing kita untuk menjawabnya. Berita terbarubaru-baru ini tentang kelulusan UN, Aceh menempati rangking pertama ketidaklulusan mencapai 3,11 persen. Sungguh memiliku nasib pendidikan Aceh.

Pendidikan Dayah
Pemerintah Aceh salah satu provinsi di Indonesia yang mengurusi pendidikan pesantren (dayah). Di Aceh, pendidikan dayah dikendalikan oleh BPPD (Badan Pendidikan dan Pembinaan Dayah) Provinsi/Kab/Kota. Sedangkan pendidikan umum (SLTA/MA) dikendalikan oleh Dinas Pendidikan Provinsi/Kab/Kota.

Disaat pendidikan umum yang dikendalikan oleh Dinas Pendidikan Provinsi/Kab/Kota mengalami degredasi. Pemerintah Aceh dibawah kepemimpinan Zaini-Muzakkir memiliki peluang untuk memperkuat dan mengawal pendidikan di Aceh melalui pendekatan pendidikan Dayah.
Pendidikan Dayah harus diperkuat dari segi administrasi organisasi secara menyeluruh. Pelibatan masyarakat harus benar-benar didukung dalam upaya eksistensi pendidikan Dayah di Aceh. Pendidikan Dayah di Aceh memiliki peluang menjadi jalur pendidikan alternatif setelah pendidikan umum ”terbukti” gagal dalam memproduksi manusia-manusia yang cerdas dalam segala hal.

Namun, peluang menjadikan Pendidikan Dayah sebagai pendidikan alternatif belum direspon secara bijak oleh pemerintah. Hal ini terbukti bahwa pendidikan dayah di Aceh tidak ada grand desain. Program intervensi terhadap eksistensi pendidikan dayah, malah kalau diteliti lebih jauh malah menjadikan pendidikan dayah sebagai pendidikan sub ordinat. Dimana pada akhirnya menjadikan pendidikan dayah tidak jauh berbeda dengan pendidikan umum di Aceh.

Sebagai bukti, bahwa tidak ada grand desain pendidkan dayah di Aceh. Berikut saya tampilkan beberapa catatan yang saya ketengahkan menyangkut program yang pernah dilakukan oleh Pemerintah Aceh terhadap pendidikan Dayah di Aceh. Pertama tentang kebijakan klasifikasi Dayah. Melalui serangkai keputusan gubernur (Pergub) tahun 2003, periode Abdullah Puteh, kemudian diperbaharui oleh Irwandi Yusuf melalui intruksinya pada tahun 2008. Salah satu poin yang masih segar dalam ingatan saya adalah untuk melakukan klasifikasi pendidikan Dayah di Aceh secara komprehensif dan profesional melalui tipekal Dayah bertipe A, B, C dan non tipe. Fase inilah cikal bakal awal intervensi pendidikan Dayah oleh Pemerintah Aceh.

Kedua menyangkut dengan registrasi jumlah Dayah. Kebijakan ini juga melalui keputusan gubernur (Pergub) nomor 451.2/474/2003. Poin yang utama adalah registrasi Dayah dilakukan setiap tiga (3) tahun sekali, melalui dana dari APBD. Pada tahun 2008 juga hal serupa dilakukan untuk penggunaan anggaran kepada pembangunan sarana dan prasarana Dayah melalui intruksi Gubernur yang dijalankan oleh BPPD dengan kewajiban melakukan koordinasi dengan dinas-dinas teknis terkait.
Ketiga menyangkut kebijakan pemberian bantuan kepada Dayah. Pada tahun 2003-2007 pemberian bantuan kepada Dayah dilakukan oleh Dinas Pendidikan Provinsi, melalui Subdin Dayah. Kemudian, tahun 2008 wewenang itu menjadi milik Badan Pembinaan Pendidikan Dayah berdasarkan qanun No 5 tahun 2007. Kemudian keluar intruksi Gubernur Irwandi Yusuf, nomor 03/INSTR/2008 yang ditujukan kepada Badan Pembinaan dan Pendidikan Provinsi, tentang petunjuk teknis pelaksanaan pembangunan dan pengembangan saran dan prasarana Dayah/Pesantren, menyebutkan bahwa pemberian bantuan dan pengembangan dengan sistim kerjasama dan mengutamakan kepentingan santri dan masyarakat sekitar Dayah. Jenis bantuan yang diberikan, meliputi pembangunan musallah, asrama, masjid, wc, dan bangunan utama pengajian.

Referensi lain yang saya peroleh menyebutkan bahwa setidaknya ada beberapa program jangka pendek yang dilakukan Pemerintah  seperti; pelatihan komputer untuk santri Dayah, pelatihan life skill santriwati (konveksi), pelatihan life skill satriwan (reparasi elektronik), bantuan untuk kegiatan ekstra kurikuler santri, musabaqah qirawatil kutub dan sayembara baca kita kuning, pelatihan jurnalistik santri serta pembinaan dan pengembangan kurikulum Dayah.

Dari serangkai program yang digulirkan. Kita belum melihat tidak adanya kebijakan yang melibatkan proses monitoring masyarakat setempat. Padahal jelas bahwa asal-usul pendidikan Dayah itu karena adanya sokongan dari masyarakat sekitar. Dayah pun seakan-akan menjadi lembaga eklusif, pasca pasukan pemerintah melakukan intervensi terhadap pendidikan Dayah. Makanya belum telat bagi  Pemerintah untuk menggagas kebijakan pendidikan Dayah yang komprehesif dan jangka panjang, dimana pelibatan masyarakat menjadi hal mutlak dilakukan.

Pengawal Pendidikan Aceh
Ditengah ketidak jelasan pendidikan yang dikendalikan oleh Dinas Pendidikan dan Departemen Agama. Disertai tidak adanya prospek jangkan panjang menjadikan pendidikan Dayah sebagai jalur alternatif  pendidikan di Aceh karena tidak adanya grand desain. Maka  sudah seharusnya, masyarakat dan elemen sipil lainnya untuk “peduli” tehadap dinamika yang ada saat ini.
Ada beberapa poin yang harus dikawal dalam penyelenggaraan pendidikan di Aceh. Pertama adalah mengumumkan dan menghentikan penyelengaaraan pendidikan kelas jauh oleh beberapa perguruan tinggi di Aceh. Sesuai dengan peraturan Departemen Pendidikan Indonesia, dilarang bagi setiap universitas atau sekolah tinggi untuk membuka kelas jauh. Gubernur Zaini-Muzakir memiliki hak menegur dan mengumukan PT liar yang dengan terbuka kepada publik. Banyak guru atau serjana berkualitas level pendidikan jarak jauh di Aceh. Makanya tak heran, attitude, moral dan intelektual hasil didikan sekolah jarak jauh selalu jauh dari nilai-nilai akademis.

Kedua adalah perlu peningkatan kualitas PNS yang diangkat dari jalur hononer.  Ini menjadi penting dilakukan dalam upaya memaksimalkan kualitas guru dan pejabat yang menjadi PNS dari jalur honorer. Kegagalan UN, setidaknya dipenagruhi oleh kuantitas dan kualitas guru honor di Aceh.
Ketiga adalah harus adanya lembaga pengelola pembianyaan pendidikan Aceh. Kedepan biaya yang bersumber dari anggaran Pemerintah Aceh hendaknya dikelola secara profesional dan menghindari intervensi politik.

Keempat penataan tanah wakaf pendidikan. Zaini-Muzakir harus melakukan penataan kembali skema tanah wakaf untuk pendidikan di Aceh.  Hal ini  untuk menghindari setiap tahunnya ada sekolah yang disegel oleh masyarakat. Kedepan tidak mungkin, ada pendidikan dayah di Aceh juga di segel oleh masyarakat. Karena kebanyak dayah dulunya oleh masyarakat dan dayah dibangun oleh masyarakat. Namun seiring intervensi pemerintah. Dayah hari ini sudah bergeser kepemilikan, awalnya kepemilikan dayah oleh masyarakat saat ini kepemilikan atau ownership oleh pimpinan dayah. Ini perlu di respon, karena banyak sekali tanah tempat berdirinya dayah di Aceh itu adalah hasil wakaf. Sedangkan banyak juga institusi dayah hari ini sudah dikelola secara professional tanpa memprioritaskan murid atau siswa daerah setempat.

Ikhtitam
Aceh masa kini adalah Aceh tanpa kebanggaan. Sudah seharusnya kita sebagai sebuah entitas bangsa untuk bersatu memikirkan untuk kemajuan dalam beragam sektor melalui leading sektor pendidikan.
Filosofi meyoe ie mandum leuhob, meyoe kon awak tanyoe mandum awak gob adalah tidak relevan dengan kondisi Aceh saat ini. Bila filosofi ini didengungkan dalam implimentasi program Pemerintah Aceh, maka akan muncul resistensi massal yang berakibat pada kemandekan kemajuan Aceh dibawah Zaini-Muzakir kedepan.

Mustahil, memajukan Aceh hanya mengandalkan satu golongan kelompok. Memajukan Aceh harus dengan filosofi kebersamaan dalam kemardekaan cari berfikir dan bertidak secara holistik.
Membangun Aceh harus dengan manajemen pemerintahan yang baik. Manajemen yang baik dan integral adalah menjadi salah satu faktor untuk memajukan Pendidikan di Aceh kedepan dibawah kepemimpinan Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf. Pemerintah Aceh haru memasang harapan besar supaya kedepan lembaga pendidikan di Aceh harus mampu melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas agama, melainkan juga teknologi, kecakapan bahasa dan multi disiplin keilmuan lainnya untuk menghindari Aceh dari lost generation dan kegamangan keilmuan dalam mengisi pembangunan Aceh nantinya. Karena titik inilah sentral kemajuan Aceh, selain ekonomi, kesehatan.

Bila kita punya mimpi untuk keluar sebagai juara dalam bidang pendidikan. Hal utama yang harus dilakukan Zaini-Muzakir adalah tidak menyerahkan kendali pendidikan dibawah banyangan politisi. Karena Politisi di Aceh tidak seperti  yang digambarkan Aristoteles bahwa “politisi itu tidak punya waktu untuk bersenang-senang. Karena mereka selalu berfikir dan berusaha mencapai sesuatu untuk kebaikan warganya”. Demikian !



Blog, Updated at: 7:51 PM

0 comments:

Post a Comment