Dampak Kebijakan Pendidikan Dayah

Posted by



Dayah adalah lembaga sosial dan keagamaan yang dibangun berdasarkan kebutuhan masyarakat untuk memperoleh pendidikan keagamaan untuk anak-anak. Awalnya dayah dibangun oleh masyarakat berdasarkan swadaya secara mandiri, secara sendirinya kebutuhan kontroling dan aksesbilitas masyarakat terhadap keberadaan dayah sangat tinggi, terutama mempertahankan kelangsungan proses belajar mengajar sebagai tempat memperoleh ilmu pendidikan keagamaan bagi anak-anak masyarakat disekeliling dayah.



Sejalan dengan itu, hasil wawancara dengan kepala Badan Pembinaan Pendidikan Dayah Provinisi Nanggroe Aceh Darussalam menyebutkan bahwa sebelum qanun itu lahir, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam sudah memiliki kestimewaan dalam bidang Dayah.

UU Keistimewaan Aceh nomor 44 tahun 1999, UU Otonomi Khusus nomor 19 tahun 2001. Peraturan Daerah Nomor 6 tahun 2000, tentang penyelenggaraan Pendidikan. Qanun Nomor 23 tahun 2002 tentang penyelenggaraan pendidikan. Qanun nomor 5 tahun 2007 tentang susunan organisasi dan tata kerja dinas, lembaga teknis daerah dan lembaga daerah provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dan pada tahun 2003, dalam struktur biro keistimewaan itu ada subdin Dayah. (Hasil Wawancara Kepala BPPD, 15 Agustus 2008)

 Hal itu terwujud bagian dari perubahan sistem sentralisasi ke desentralisasi, yang membuka peluang bagi daerah untuk menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan kultur budaya daerah setempat dengan melahirkan peraturan pemerintah daerah (qanun). Jadi dasar yuridis pendidikan Dayah di Aceh adalah UU Otonomi Khusus Nomor 19 Tahun 2001, Undang-Undang keistimewaan Aceh Nomor 44 Tahun 1999, PP No 83 tahun 2003 tentang perubahan struktur Ppemerintah Propinsi, Perda Nomor 6 tahun 2000 dan qanun Nomor 23 tahun 2002 tentang penyelenggaraan pendidikan, Undang-undangn Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan aspek terakhir tentang implimentasi kebijakan pendidikan Dayah akan lakukan oleh Badan Pembinaan Pendidikan Dayah (BPPD) sesuai dengan qanun nomor 5 tahun 2007, dapat dijalankan secara komprehensif di Aceh karena tidak melangkahi undang-undang di atasnya.


Sejak berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 mengenai Otonomi Daerah dan sejalan dengan itu, lahirnya UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Merupakan konsekuensi dari keinginan era reformasi untuk menghidupkan kehidupan demokrasi

mengeluarkan regulasinya pada tahun 2000. melaui Peraturan Daerah Nomor 6 tahun 2000

Kemudian pada lahirnya Qanun Nomor 23 tahun 2002, makin menambahkan eksistensi Dayah secara legalitas diakui oleh PEMDA. Pembahasannya dibahas secara khusus dalam bab X (sepeuluh) dan XI (sebelas) dalam Qanun Nomor 23 tahun 2002 tersebut. Kemudian pada ayat 4 bagian penjelasan disebutkan dengan jelas bahwa pendidikan Dayah adalah termasuk jalur pendidikan sekolah dan jenis pendidikan keagamaan. Pendidikan sekolah karena Dayah dapat mengelola madrasah, dan termasuk jenis pendidikan keagamaan karena ada Dayah yang khusus mengajarkan agama (dayah salafiah).
 
Menurut Kepala Badan Pembinaan Pendidikan Dayah (BPPD), Bustami Usman mengatakan bahwa kebijakan Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam (PEMDA NAD), dalam mengatur implimentasi pendidikan di Dayah adalah memiliki tujuan untuk lebih baik dan berjalan secara sistematis dalam membina peserta didik yang berkualitas. Pemerintah Daerah (PEMDA) mengharap kebijakan yang dikeluarkan berjalan maksimal dan berdampak positif bagi proses implimentasi pendidikan di Dayah.

Pemerintah Daerah (PEMDA) dalam hal mengeluarkan kebijakannya selalu memperhitungkan khazanah Dayah itu sendiri. Pemerintah hanya melakukan support secara teknis, seperti kurikulum, pendataan, peningkatan sumber Dayah guru, memberi bantuan kitab-kitab, dengan intervensi-intervensi seperti itu, tentu Pemerintah Daerah berharap dampak yang ditimbulkan akan lebih bagus dan masyarakat sekitar akan mempercayai Dayah karena adanya peningkatan kualitas pendidikannya. (Hasil Wawancara Kepala BPPD, 15 Agustus 2008)

Namun demikian, hasil wawancara dengan Sekretaris HUDA menyebutkan bahwa dampak yang ditumbulkan dari intervensi kebijakan Pemerintah Daerah (PEMDA) terhadap aksesbilitas masyarakat untuk memperoleh pendidikan di dayah itu dapat dilihat dari dua sisi. Pertama intervensi Pemerintah Daerah (PEMDA) dalam menjaga kelancaran aktivitas pendidikan di Dayah itu sangat bagus. Kedua kebijakan PEMDA terhadap Dayah terkesan memiliki agenda politis.

Dilihat dari program-program PEMDA yang ditawarkan kepada Dayah, itu hanya dalam bentuk workshop, seminar dan pelatihan-pelatihan singkat. Jadi dampak kebijakan singkat seperti itu meninggalkan kebingungan yang mendalam dari pihak Dayah. Kemudian Dayah berada pada posisi selalu mengharap untuk aktivitas-aktivitas yang dipelopori PEMDA pada waktu-waktu berikutnya. Ketergantungan-ketergantungan seperti itu, menurut kami dari HUDA adalah bagian dari dampak kebijakan politis PEMDA terhadap eksistensi pendidikan Dayah yang memiliki kekhususan (Hasil Wawancara Sekretaris Himpunan Ulama Dayah Aceh, 2 Juli 2008).

Kemudian, HUDA menambahkan karena kebijakan bermotif politik, otomatis proses intervensi kebijakannya juga tidak maksimal, karena PEMDA tidak ikhlas, dan yang terjadi hari ini adalah setelah pemerintah mengeluarkan regulasinya terhadap implimentasi pendidikan di Dayah, struktur keikhlasan yang semula sangat kuat dijalankan oleh para guru-guru Dayah, sekarang sudah luntur dan akses masyarakat juga harus melalui berbagai tahapan tidak mudah lagi seperti sebelum adanya regulasi PEMDA.

Menurut pandangan Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) dampak jangka panjang dari kebijakan PEMDA terhadap Dayah adalah hilangnya sikap sosial dari masyarakat untuk membantu eksistensi proses belajar mengajar sebuah Dayah. Masyarakat tidak peduli dengan sistem dan yang diimplimentasi pendidikan di Dayah, karena Dayah sudah menjadi wilayah birokrasi pemerintah. Serta pudarnya rasa memiliki bahwa Dayah itu milik masyarakat, karena pemerintah sudah mengeluarkan regulasi bahwa semua Dayah itu harus memiliki landasan hukum (akte notaris). Dengan adanya intervensi Pemerintah terhadap Dayah, terkesan adanya sebuah pembatas antara Dayah dengan masyarakat, karena harus bersikap birokratis dan formalitas, hal ini mencederai sikap masyarakat yang tidak birokrasi yang cenderung apa adanya.

Akses terhadap legalitas keberadaan Dayah dari milik masyarakat ke miliki personal adalah berkurangnya masyarakat mengantar anak mereka ke Dayah, karena harus melawati pra syarat yang banyak dan peraturan-peraturan yang birokratis, (Hasil Wawancara Sekretaris Himpunan Ulama Dayah Aceh, 2 Juli 2008).

Sementara kepala bagian pendidikan keagamaan dan pondok pesantren (KOPENTREN), Kanwil Departemen Agama Provinsi NAD, menyebutkan bahwa;
Banyak sekali manfaatnya kebijakan terhadap Dayah, terutama dari segi administrasi dan keuangan, dimana dulunya bersifat kekeluargaan dan ikhlas tanpa administrasi, tapi dengan adanya program Pemerintah semua pengeluaran harus memiliki bukti-bukti. Jadi kalau dulu teungku Dayah hanya mengenal konsep ikhlas tanpa menghiraukan konsep akuntabilas. Sekarang para Teungku Dayah sudah merasa penting untuk melakukan pertanggung jawaban secara transparan., (Hasil Wawancara dengan Kepala Bidang Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren Depag NAD, 2 Juli 2008)

Jadi dampak kebijakan Pemerintah Daerah (PEMDA NAD) terhadap asesbilitas masyarakat memperoleh pendidikan Dayah hanya berdampak pada tataran birokratis, prosedural dan prasangka-prangka. Dari segi pelaporan dan akuntabiltas manajemen ada peningkatan setelah PEMDA melahirkan regulasinya secara teratur. Dan menyangkut dengan akses kependidikan keagamaan serta keterbukaan Dayah terhadap masyarakat disekelilinya tetap terjaga, walau masyarakat dihadapi persoalan birokratis dan prosedural.

  1. Dampak Aksesibilitas Masyarakat untuk Memperoleh Pendidikan Dayah
Pada setiap kebijakan selalu diharapkan dapat memberikan dampak tertentu seperti yang direncanakan. Demikian pula halnya dengan kebijakan PEMDA NAD terhadap Implimentasi Pendidikan Dayah di Aceh. Dengan jelas ditemukan dari hasil penelitian bahwa dampak implimentasi kebijakan Dayah masih belum maksimal.
Hal ini seperti disebutkan oleh Sekretaris HUDA bahwa ;

Dampak pertama adalah hilangnya sikap sosial dari masyarakat untuk membantu eksistensi proses belajar mengajar sebuah Dayah. Masyarakat tidak peduli dengan sistim dan yang diimplimentasi pendidikan di Dayah, karena Dayah sudah menjadi wilayah birokrasi Pemerintah. Serta pudarnya rasa memiliki bahwa Dayah itu milik masyarakat, karena Pemerintah sudah mengeluarkan regulasi bahwa semua Dayah itu harus memiliki landasan hukum (akte notaris). Memudahnya monitoring terhadap proses pendidikan di Dayah oleh masyarakat, karena dengan adanya intervensi Pemerintah terhadap Dayah, terkesan adanya sebuah pembatas antara Dayah yang wajib bersikap birokratis dan formalitas dengan sikap masyarakat yang cenderung apa adanya. (Hasil Wawancara Sekretaris Himpunan Ulama Dayah Aceh, 2 Juli 2008).

Pada sisi lain, PEMDA NAD, melalui Badan Pembinaan Pendidikan Dayah mengatakan bahwa :
Pemerintah Daerah dalam hal mengeluarkan kebijakannya selalu memperhitungkan khazanah Dayah itu sendiri. Pemerintah hanya melakukan support secara teknis, seperti kurikulum, pendataan, peningkatan sumber Dayah guru, memberi bantuan kitab-kitab, dengan intervensi-intervensi seperti itu, tentu Pemerintah Daerah berharap dampak yang ditimbulkan akan lebih bagus dan masyarakat sekitar akan mempercayai Dayah karena adanya peningkatan kualitas pendidikannya. Otomatis dengan minat memajukan Dayah dari para pimpinan, masyarakat juga akan percaya bahwa kualitas Dayah terus meningkat, yang akhirnya masyarakat memiliki peluang yang sama untuk mendidik anak mereka di lembaga agama secara maksimal. (Hasil Wawancara Kepala Badan Pembinaan Pendidikan Dayah, 15 Agustus 2008)

Prinsip dasar dampak aksesibilitas masyarakat untuk memperoleh pendidikan di Dayah adalah harus di utamakan. Karena konsep aksesibilitas, oleh Achmady (1994) dijelaskan terdiri dari tiga aspek, yaitu : (1) aspek persamaan kesempatan (equality of opportunity), (2) aspek aksesibilitas (accessibilty), dan (3) aspek keadilan (equity). Untuk keperluan pembahasan penelitian ini penulis mencoba menganalisis aksesibilitas masyarakat dapat diartikan sebagai : kemampuan dan kesempatan. Artinya kemampuan dan kesempatan seseorang atau masyarakat untuk memperoleh kesempatan pemerataan pendidikan. Kemampuan dan kesempatan disini berkaitan dengan masalah struktur kondisi budaya masyarakat. Lebih jauh dapat didefinisikan bahwa kemampuan dan kesempatan berkaitan dengan kecukupan atau kelebihan masyarakat untuk memperoleh pendidikan secara berkualitas sangat terbuka.

Jelas bahwa kemampuan dan kesempatan bagi Dayah, dengan adanya dukungan (intervention) PEMDA NAD terhadap Dayah walau belum maksimal, dapat memberikan peluang untuk menghasilkan pendidikan yang berkualitas bagi masyarakatnya. Salah satunya adalah kemampuan membuat laporan dan menjalankan manajemen yang sesuai dengan perkembangan zaman. Dan juga memanfaatkan kesempatan untuk meningkatkan kualitas pendidikan murid-murid Dayah. Serta adanya dukungan PEMDA untuk menyiapkan sarana dan prasara bagi Dayah harus dapat memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk memperoleh kesempatan pemerataan pendidikan untuk anak-anak mereka. Dengan begitu, selanjutnya Dayah tetap menjadi lembaga publik dan dapat diakses kapan saja dengan pola manajemen yang lebih baik.


Blog, Updated at: 12:50 AM

0 comments:

Post a Comment