Membaca headline koran ini, Jumat (20/2) tentang penangkapan siswi-siswi sekolah SMA 12 Banda
Aceh dan lainnya yang terjaring razia karena bolos sekolah, lalu di jobloskan
ke penjara oleh Satpol PP dan WH Provinsi Aceh. Sesaat kemudian foto keberadaan
siswi di sel disebar ke sejumlah media untuk di publikasi. Membaca kasus ini,
membuat saya kurang nyaman melakukan aktivitas bila tidak menulis warkah ini.
Tindakan memaksa anak tinggal di sel yang berdampak secara psikologis, masih
memakai seragam sekolah, adalah tindakan yang tidak dibenarkan secara hukum
international (Konvensi Hak Anak), undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, dan Qanun nomor 11 tahun 2008 tentang Perlindungan Anak. Apalagi
kasus razia anak bolos sekolah dan mempublikasikan anak di penjara dilakukan oleh
badan yang tidak memiliki wewenang untuk memutuskan hukuman.
Guru saya Prof Darwis A.
Soelaiman mengungkapkan kekecewaannya dengan mengatakan tindakan Satpol PP dan
WH itu sudah sangat overacting.
Kekecewaan ketua MPD (Majelis Pendidikan Daerah) itu adalah sangat wajar, dan
perlu diberi appresiasi supaya satuan kerja pemerintah kedepan perlu hati-hati
dan tidak gegabah dalam menangani kasus anak-anak sekolah. Apalagi kejadian
seperti itu dilakukan, disaat Pemerintah Aceh sudah memberlakukan Qanun no 11
tahun 2008 tentang Perlindungan Anak.
Seharusnya semua SKPD di Provinsi
Aceh memahami dan memberi contoh yang bagus bagi publik untuk sama-sama
mematuhi dan menjalankan semua peraturan yang telah disahkan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh (DPR-Aceh). Bukan malah melanggarnya. Seperti yang telah
dilakukan oleh Satpol PP Provinsi Aceh. Sebagaimana diketahui, bahwa Indonesia telah melakukan ratifikasi The Convention on The Rights of the Child
(CRC) tahun 1989 di Jenewa Swiss atau Konvensi Hak-Hak Anak (KHA), sejak
tahun 1990 melalui Kepres Nomor 36/1990. Dengan telah diratifikasinya CRC maka Indonesia
mempunyai kewajiban dan tanggungjawab secara hukum internasional dan nasional
untuk melakukan implementasikannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
dalam berbagai level.
Dalam perjalanannya, kemudian Indonesia mengeluarkan regulasi tetap
dan mengikat tentang perlindungan anak nomor 23 tahun 2002. Tujuannya adalah
untuk menjamin perlindungan anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan
diskriminasi. Undang-undang itu sendiri, didasari dari oleh 4 prinsip utama KHA (Konvensi Hak Anak),
yaitu: non diskriminasi,
kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup dan berkembang dan berpartisipasi.
Untuk Aceh, kepekaannya terhadap sejumlah rentetan pelanggaran hak anak, baik
kekerasan seksual, kekerasan sosial, akhirnya dikeluarkan qanun tentang
perlindungan anak.
Tujuan akhir dari pembentukan dan implimentasi regulasi tentang perlindungan
anak, baik konvensi, undang-undang maupun qanun adalah semua untuk bertanggungjawab
dalam memaksimalkan penyelenggaraan perlindungan Anak oleh semua pihak baik
orang tua, keluarga, masyarakat, Pemerintah Pusat/Daerah dan masyarakat
Internasional, juga harus terlibat dalam pemenuhan hak-hak anak di Indonesia
dan Aceh khususnya. Secara subtantif, teori dan hukum perlindungan anak sudah
sangat memadai di Aceh. Tinggal sekarang bagaimana semua hak yang dimiliki anak
tidak dilanggara oleh institusi pemerintah dan masyarakat.
Anak dalam Budaya Aceh
Perlindungan anak dalam budaya Aceh adalah perlindungan yang menekankan
unsur pendidikan dan agama. Sejak bayi anak telah dididik dalam bentuk
simbol-simbol dengan penekanan terhadap pemahaman dan pelaksanaan ajaran agama,
etika dan kepahlawanan. Ini semua bertujuan agar anak tumbuh dan berkembang
menjadi anak yang taat dalam beragama, menjaga norma hidup pribadi dan
masyarakat serta berani membela kebenaran.
Melindungi anak-anak sekolah adalah bagian integral dari interaksi sosial
masyarakat yang islami. Tetapi sayangnya, sekarang ini praktik perlindungan
anak sebagaimana kita maksudkan tidak lagi berjalan sebagaimana mestinya. Praktik
perlindungan anak sebagaimana ada dalam mandat budaya diabaikan yang orang tua
kita praktekkan, salah satunya adalah perlindungan anak berbasis kawom.
Pelindung anak yang paling utama dalam budaya Aceh adalah keluarga besar
atau dikenal dengan kawom. Keluarga
besar terdiri dari orang tua, saudara kandung, kakek/nenek dari bapak dan ibu,
saudara bapak dan saudara ibu dan lain sebagainya. Dalam keluarga besar juga
termasuk keponakan, yakni anak dari saudara bapak/saudara ibu.
Tugas Satpol PP dan WH
Berdasarkan Qanun nomor 5 tahun 2007 tentang susunan
organisasi dan tata kerja dinas, lembaga teknis daerah, dan lembaga daerah
Provinsi NAD. Tugas Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah (Satpol PP
dan WH), sesuai dengan pasal 203 adalah memelihara dan menyelenggarakan
ketenteraman dan ketertiban umum, menegakkan Peraturan Daerah (Qanun), Peraturan
Gubernur, Keputusan Gubernur, melakukan sosialisasi, pengawasan, pembinaan,
penyidikan, dan pembantuan pelaksanaan hukuman dalam lingkup Peraturan
Perundang-undangan di bidang Syari’at Islam.
Menilik dari tugas tersebut, penahanan siswi sekolah di sel yang dilakukan
oleh Satpol PP dan WH sudah diluar dari tugas utamanya. Karena menentang
implimentasi Qanun Perlindungan Anak. Berangkat dari kasus ini, saya melihat
masih lemahnya koordinasi sesama dinas/badan dalam struktur Pemerintah Aceh.
Satpol PP dan WH seharusnya tahu bahwa dalam susunan organisasi Pemerintah Aceh
sudah ada Badan Pemberdaan Perempuan dan Perlindungan yang memiliki mandat
khusus menangani masalah perempuan dan hak anak. Melalui warkah ini, saya ingin
menyarankan kepada Badan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi NAD, yang
dipimpin Ibu Raihan Putri untuk mensosialisasikan qanun perlindungan anak ini kepada
stakeholder pemerintah. Sebelum berikutnya disosialisasikan kepada masyarakat
umum. Sungguh naif, ketika masyarakat sudah sadar untuk melindungi anak mereka
dari berbagai bentuk ancama kekerasan dan intimidasi, malah pemerintah yang
melakukan ancaman, kekerasan dan indimidasi terhadap anak. Tragis memang.
Itulah Pemerintahan Aceh. Nauzubillah.
0 comments:
Post a Comment