Selama
bulan Maret 2011, kami membangun interaksi yang intesif dengan masyarakat gampong
Maheng, Kuta Cot Glie, Aceh Besar. Interaksi itu dilakukan sebagai bentuk
tanggung jawab dalam mengekplorasi pemetaan sosial ekonomi gampong dalam bidang
pertanian, perkebunan, perikanan dan perternakan. Kepercayaan itu diberikan
Bank Indonesia (BI) untuk meneliti secara sederhana pemetaan awal tentang gambaran umum (big Picture) tentang
potensi gampong, kondisi sosial dan permasalahan ekonomi masyarakat dalam
sektor sosial ekonomi masyarakat.
Gampong Maheng salah satu
daerah rahasia dalam gerakan politik di Aceh pada masa Chiek Di Tiro, DI/TII
dan Gerakan Aceh Merdeka (1976-2006). Dalam sektor pertanian dan ekonomi pada
kurun waktu 1971-2001 gampong Maheng dikenal sebagai salah satu gampong dengan
mata pencarian utama masyarakatnya dari hasil tanaman Ganja. Dulunya Maheng
menjadi simbol gampong dengan kehidupan sosial ekonomi yang terbelakang.
Keterbelakangan masyarakat
Maheng sangat melegenda. Dalam pandangan masyarakat umum di Aceh Besar, Maheng
adalah sebuah desa yang jauh, miskin dan terisolir. Hal ini misalnya sering
terdengar dari kata-kata orang tua di Aceh Besar dan Banda Aceh untuk
menakut-nakuti anaknya dengan mengatakan akan diculik oleh perampok dan “diba u Maheng” (dibawa ke Maheng).
Seiring perjalanan waktu, pasca
MoU Helsinki, masyarakat Maheng mulai berubah. Kebiasaan buruk dan bermalas-malasan
mereka tinggalkan. Kebiasaan tanam dan hisap ganja mereka lupakan. Pola
kehidupan yang harmonis dan kebersamaan mareka galakkan.
Saat ini, ada banyak cerita
dari gampong Maheng yang menjadi pembelajaran bagi gampong-gampong dan
masyarakat perkotaan di Aceh. Poin mendasar yang ditemukan di Gampong Maheng
sebagai upaya pembelajaran untuk gampong
lain adalah; Pertama adalah
setelah MoU Helsinki adanya perubahan karakter sosial masyarakat yang sangat
terbuka untuk para pendatang. Anggota masyarakat Maheng sangat terbuka terhadap
para pendatang untuk memberikan informasi apa saja yang berkaitan dengan gampong,
kehidupan sosial dan masyarakat disekitarnya.
Kedua Pada tahun 1971-2001 semua
pendudukan Maheng, mulai dari anak-anak sampai dengan orang tua memiliki
pekerjaan sebagai petani Ganja. Namun saat ini, berdasarkan konsensus bersama,
warga tidak membenarkan lagi ada yang menanam Ganja di area gampong Maheng.
Bila ditemukan akan dikenakan sanksi gampong (adat) dan sanksi negara.
Ketiga dari jumlah penduduk 600
orang, terdapat 19 orang janda yang masih peduli untuk terus menyekolahkan
anak-anak mereka secara mandiri sampai sekolah menegah atas, tanpa ada dukungan
pemerintah. Perempuan-perempuan janda itu selain memiliki pekerjaan tetap
sebagai petani, juga memiliki agenda mingguan mencari rotan ke hutan lindung di
seputaran Maheng Aceh Besar.
Keempat, pekerjaan utama masyarakat
Maheng adalah petani. Sebanyak 90 % masyarakat memiliki pekerjaan utama pada
sektor pertanian (padi), dengan rata-rata perkiraan pendapatan perbulannya
sebesar Rp 200.000-800.000,-. Banyak lahan yang belum digarap karena ketiadaan
ilmu dan modal untuk memberdayakan lahan.
Kelima, masyarakat menghadapi kendala
utama untuk mengembangkan hasil produksi dalam bidang pertanaian, perkebunan,
perikanan dan perternakan karena tidak mencukupi aliran air. Masyarakat sangat
berharap percepatan pembangunan waduk. Untuk jangka pendek perlu adanya
penyedian mesin pompa air untuk peningkatan kuantitas dan kualitas produksi
mereka. Disamping itu perlu adanya pendampingan teknis dalam upaya peningkatan
hasil produksi pertanian warga.
Keenam, ditemukan perubahan karakter
yang lebih regelius dari setiap warga gampong Maheng saat ini, bila dulunya
banyak warga yang tidak shalat, sekarang sebaliknya banyak yang sudah shalat,
dan juga ada pengajian mingguan untuk orang-orang dewasa. Untuk anak-anak warga
membangun secara swadaya bale-bale pengajian untuk anak-anak mereka.
Gampong Ganja
Bukan rahasia lagi kalau gampong Maheng adalah salah satu daerah penghasil
(produksi dan pengolahan) ganja sejak tahun 1971 – 2001, dan menjadi faktor
penentu perkembangan dinamika sosial ekonomi masyarakat setempat. Namun saat
ini Maheng sudah berubah total. Predikat sebagai “gampong ganja” sangat tidak
nyaman ditelinga mereka. Oleh sebab itu mereka bertekat untuk menghentikan
semua kebiasaan itu dan beralih menjadi masyarakat biasa.
Banyak pembelajaran yang
didapat dari Maheng sebagai bekas “gampong ganja”. Maheng memiliki lahan yang subur untuk berbagai tanaman,
baik tanaman komoditas masyarakat maupun tanaman liar. Kondisi ini bukan hanya
dimanfaatkan untuk menanam komoditas untuk kebutuhan sehari-hari, namun banyak
pula yang dipakai untuk menanam ganja.
Sebagai bekas gampong penghasil
ganja, dan pengasilan utama masyarakat dari tanaman ganja, maka melakukan
perubahan tentu menjadi sesuatu yang akan menimbulkan keterkejutan pada mereka.
Menurut penuturan kepala dusun, dulu sebelum 2001 seorang anak kecil kelas 1
SMP saja bisa mendapatkan penghasilan
sejumlah Rp. 100 ribu/hari, sementara orang dewasa bisa saja mendapat minimum
Rp. 800 ribu/hari. Namun ia mengaku, setelah mengadakan musyawarah bersama
masyarakat semuanya, mereka sepakat untuk berhenti dan semua tanaman itu
dicabut secara bersama-sama pula. Mereka sudah berkomitmen untuk berhenti
selamanya.
Saat ini, meskipun memiliki
pendapatan seadanya, warga Maheng tetap tak akan kembali ke tanaman Ganja. Bagi
warga Maheng, menanam ganja memang menghasilkan uang yang banyak tapi uang yang
didapat dari panen ganja dianggap “tidak berkah” untuk digunakan. Makanya
komitmen untuk bertahan sebagai petani dan berkebun untuk menjadi masyarakat
yang taat hukum terus dilakukan dan dijaga bersama.
Salah satu mantan kombatan GAM
yang sekarang ditinggal di gampong Maheng, kepada saya menuturkan bahwa tidak
ada lagi ganja di Maheng. “Miseu na koh
aroe lhong” (kalau ada–tanaman ganja-potong tangan saya). Ia berani
mengatakan demikian karena ia tahu komitmen bersama warga Maheng sangat kuat
untuk meninggalkan menanam ganja kembali.
Akhir kata, belajar dari Maheng
menjadi potret keberadaan gampong-gampong lain di Aceh. Masyarakat Gampong
bukanlah masyarakat pantengong (keras kepala) sebagaimana kita sering mendengar
ucapan itu keluar dari banyak pejabat di level provinsial Aceh. Masyarakat
gampong di Aceh adalah masyarakat yang peduli, hidup bersahaja dalam
keharmonisan dan keakraban, penuh dengan nilai-nilai keberagaman dan
kebersamaan. Sebaliknya, masyarakat perkotaan atau pejabat di Aceh banyak yang
sudah pandengong (keras kepala) yang terus memelihara hidup dalam kotak-kotak
permusuhan dan kebencian. Wassalam
0 comments:
Post a Comment