Aceh Rentan Konflik

Posted by




Tatanan masyarakat Aceh selalu berjalan secara sistematis dalam lingkaran “Konflik-Damai”. Siklus itu terus berputar baik by design maupun secara alamiah kulturalnya. Ketika siklus berada pada ranah konflik, semua potensi “merapat” untuk berfikir bagaimana mengupayakan perdamaian. Begitu juga sebaliknya, ketika kondisi Aceh berada pada titik damai, ada saja baik secara sengaja atau tidak, banyak yang “merapat” untuk kembali ke konflik. Itulah Aceh, negeri dengan segala jenis kerentanannya.

Hal yang dominan timbul konflik kembali di Aceh bersifat horizontal. Sebelum adanya MoU Helsinki, konflik di Aceh bersifat vertikal kewilayahan antara wilayah Aceh dengan wilayah pemerintahan Pusat. Sebaliknya paska MoU, Aceh dihadapkan pada kerentanan konflik kewilayahan horizontal antara wilayah Provinsial dengan wilayah kedaerahan kabupaten/kota. Dan indikasi konflik horizontal sangat rentan untuk eksistensi damai dan akan merusak sendi-sendi struktur masyarakat Aceh nantinya.

Adanya indikasi bergesernya paradigma kesalahan. Sebelum damai, bila ada pembangunan wilayah yang kurang maksimal, sejumlah kesalahan di arahkan kepada Pemerintah Pusat. Saat ini paradigma itu bergeser, kepada Pemerintah Provinsi. ini tidak direspon secara sistemasi dan terstruktur benar-benar akan mempercepat rusaknya damai Helsinki.

Kerawanan  Aceh masih sangat rentan terhadap konflik, hal ini bisa kita lihat dari beberapa indikasinya; pertama makin eksisnya organisasi-organisasi bentukan para ‘militer’, sebut saja misalanya PETA, KPA, FORKAB, dan organisasi-organisasi keagamaan yang agresif lainnya yang memiliki basis masa masing-masing. Terlepas legal atau tidak organisasi-organisasi tersebut, banyak menimbulkan ragam penafsiran yang mengakibatkan indikasi tertentu dalam mengisi kedamaian Aceh paska MoU Helsinki.

Kedua eksistensi gerakan pemisahan Provinsi Aceh menjadi beberapa Provinsial, seperti gerakan ALA (Aceh Lauser Antara), ABAS (Aceh Barat Selatan) dan  Pasee Raya. Terlepas sebab musabab munculnya gerakan pemisahan teritorial itu. Gerakan ini menjadi hal yang sangat rentan dalam upaya mempertahankan damai Aceh, karena eksistensi gerakan itu akan menjadi sebagai pemicu lebih cepat Aceh kembali ke siklus konflik.

Ketiga adalah kerentanan terhadap ketahanan damai yang semakin rapuh. Ketahanan perjanjian Helsinki mulai terlihat rapuh karena tidak ada perekat-perekat dari pihak luar selain GAM. Perekat perdamain Helsinki masih berada ditangan para eks GAM. Sedangkan elemen lainnya walau memiliki hasrat untuk menjadi salah satu perekat untuk eksistensi damai tidak memiliki akses informasi dan kebijakan sebagai bagian integral untuk mengisi perdamaian di Aceh. Hal ini disebabkan masih dominannya peran-peran eks GAM dalam segala lini tatakelola pemerintahan lokal di Aceh saat ini.
Keempat menjulangnya angka kemiskinan dan minimnya lapangan pekerjaan. Awal perjanjian Helsinki banyak harapan yang dijanjikan bahwa masyarakat Aceh akan keluar dari kemiskinan. Namun nyatanya angka kemiskinan masih berada pada level “merah” skala Nasional. Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat, pada tahun 2010 menempatkan Aceh sebagai Provinsi termiskin ke-7 skala Nasional. Jadi bisa dibanyangkan rentanan ini.

Begitu juga sektor lapangan pekerjaan makin tak karuan paska MoU Helsinki. Menurut catatan Dinas Tenaga Kerja dan Mobilitas Pendidikan Provinsi Aceh, sampai Agustus 2010, angka pengangguran di Aceh tercatat sebanyak 165.361 orang. Tentunya kerentanan seperti ini kalau tidak ditanggapi cepat oleh pemangku kekuasaan akan berdampat pada kerawanan eksistensi damai.

Tentu angka itu barangkali masih estimasi. Realitas kemiskinan dan pengangguran di saat yang bersamaan banyak anggaran yang masuk ke Provinsi Aceh dari berbagai sumber, baik itu sumber APBN, APBD dan lembaga donor tapi tidak mampu mengatasi persoalan mendasar itu. Hal ini tentu akan sangat rentan untuk eksistensi damai Aceh. Karena esensi dari damai pasti untuk membawa Aceh yang lebih baik, tapi nyatanya kemiskinan dan pengangguran terus meningkat, tentu ini menjadi indikasi baru dalam menjadikan kerentanan konflik Aceh.

Kelima degredasinya moral orang Aceh. Indikasi merosotnya moral meliputi semua elemen usia masyarakat Aceh. Rasa memiliki dan kebersamaan makin hari makin pudar, rara kebersamaan mulai jauh melekat pada diri elemen masyarakat Aceh. Apalagi sikap saling membantu satu sama lain, baik dalam gotong ronyong yang bersfat sosial makin tak jelas haribaannya. Semua agenda-agenda sosial sudah komersilkan dengan nilai-nilai rupiah. Nilai rupiah ini menjadi salah satu indikasi kerentanan konflik Aceh. Bila pun ada komunitas kecil berbuat yang ‘baik-baik’ untuk mengisi perdamain, ada saja klaim negatif yang dialamatkan kepada mereka. Prilaku berfikir negatif perlu segera dirubah, kalau tidak ini juga membahayakan perdamain yang telah ada.

Ikhtitam
Untuk itu, sudah saatnya kita semua sensitif terhadap semua indikasi-indikasi yang berdampak negatif untuk eksistensi perdamain Helsinki. Poin penting terletak pada pemangku kekuasaan di Aceh untuk mengelola supaya gerakan dan sejumlah gejala yang mengakibatkan kerentanan konflik di Aceh harus di respon dengan cepat, tanggap dan akurat, komunikatif serta harus hati-hati.

Kenapa harus komunikatif dan hati-hati, ada sinyal kemarahan memuncak dari masyarakat arus bahwah Paska MoU ketika janji-janji para politisi Aceh tidak pernah direalisasi. Bagi masyarakat arus bawah, hari ini hampir tak ada beda politisi Aceh hari ini dengan para politisi masa orde baru. Banyak kebijakan yang tidak memihak kepada masyarakat yang membutuhkan.

Seharusnya, Aceh paska MoU perlu diarahkan untuk semua elemen, bukan untuk golongan tertentu saja. Artinya kepemimpinan untuk Aceh hak semua elemen masyarakat Aceh, bukan malah menjadikan pola kepemimpinan parsial yang mementingan constituent politik temporer.

Membangun Aceh, tidak mudah. Butuh kerja keras, ikhlas dan sudi menerima masukan. Aceh paska MoU harus dibangun dengan spirit kebersamaan tanpa berpihak kepada siapan pun, melainkan harus berpihak kepada rakyat Aceh. Aceh bukan milik elemen tertentu, melainkan Aceh adalah milik orang Aceh secara keseluruhan dengan sagala etnis dan keragaman budayanya.

Akhirnya kita harus sering-sering mengingat hadis Nabi Muhammad SAW, “Setiap manusia adalah pemimpin, dan suatu saat akan dipertanyakan tentang kepemimpinannya,”. Dalam ungkapan kata-kata bijak juga disebutkan bahwa apabila sebuah pekerjaan/urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran sebuah bangsa akan tiba. Untuk itu, siapa saja yang bernyawa dan hidup di Aceh, perlu melakukan kegiatan-kegiatan perubahan yang arahnya  untuk mencegah konflik kembali. Perubahan itu minimal menggeser pola berfikir negatif kepada positif demi kemaslahatan bersama untuk dapat hidup rukun dan damai sepanjang masa.


Blog, Updated at: 12:38 AM

0 comments:

Post a Comment