ACEH TAPI JAWA

Posted by


Akhir November 2011 lalu, kami dari rombongan pelatihan riset dalam bidang Pembangunan Ekonomi dan Perdamain, yang diselenggarakan International Centre for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS) melakukan field study di Saree sebagai sebuah rangkain kegiatan berbasis teori dan praktek. Sebagai sebuah field study kami harus melakukan interview tentunya, untuk belajar mengetahui apa saja yang masyarakat hadapi baik semasa konflik, maupun setelah perdamaian dengan basis metode penelitian.



Saree mendadak terkenal pada awal tahun 1990-an. Saree yang berada dalam administrasi Kabupaten Aceh Besar, terletak persis dikaki Gunung Seulawah. Menurut catatan yang diperoleh, Mukim Saree dibelah menjadi tiga; 1) Saree Aceh, 2) Saree Damai, 3) Saree Suka Mulia. Keberadaan kehidupan Saree menjadi maju, produktif dan terkenal seperti saat ini tak dapat dipisahkan dari peran para pendatang Jawa pada masa pemerintahan Soeharto, yang lebih popular dengan program transmigrasi.
Sebelumnya itu, Saree sama sekali tidak menjadi pembicaraan, karena Saree adalah wilayah yang terisolir, dan lahan yang subur sama sekali tidak digarap secara ekonomis oleh warga. Saat itu siapa saja yang melewat Saree berusaha secepatnya melaju sampai ke wilayah berikutnya, karena Saree saat itu seperti hutan yang dipenuhi pinus tak terurus dan dapat membawa ketakutan bagi pengendara motor, mobil dan sejenisnya.

“Saya Jawa”
Dengan bantuan perangkat desa dan Saree School, kami berjalan menyusuri dusun Blang Lam Baroe untuk menemui Mukhtar Bin Mariman. Saat kami tiba dirumahnya, pada hari itu ia tidak bekerja di kebun seperti biasanya. Kami disambut hangat untuk bertanya apa saja menyakut isu sosial, ekonomi dan damai.

Walau sensitif, saya harus bertanya, dia berasal dari mana ? Dengan lugas ia jawab berasal dari Jawa. Jawa mana ? “Pokoknya saya asli orang Jawa, Jawa yang mana saya tidak tahu karena saya belum pernah ke Jawa. Saya lahir di Aceh tapi tetap orang Jawa, Anak saya disekolah jika ada yang bertanya selalu ia menjawab dari Jawa juga”.

“Secara biologis saya adalah orang jawa. Makanya saya tidak mau menyebut diri saya dan keluarga saya sebagai orang Aceh, walau kami lahir, dan mati di Aceh, kami adalah tetap orang non Aceh” Katanya.
Mukhtar Bin Mariman masih sangat muda, saat ini berusia 43 tahun, tampak bahwa ia adalah seorang pekerja keras untuk selalu menghidupi kebutuhan keluarganya. Mukhtar tidak bekerja sendirian dalam menggarap kebunnya, ia dibantu oleh istrinya, kadang-kadang anak tertuanya Hendra juga ikut membantu.

Di Desa Saree Aceh, mereka hidup rukun, tentram dan saling membantu satu sama lainnya. Di desa ini suku Jawa dan suku Aceh sama banyaknya. Menurut catatan Mariman, sejak ia tinggal di Sare mulai tahun 1984 belum pernah ada keributan antar warga. Semua mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing menanam di kebun. Mereka tidak sempat berfikir politik, ribut-ributan sesama. Karena mereka setiap hari harus bekerja untuk eksistensi kehidupannya dan keluarganya.
Awal cerita keluarga kami ke Aceh, menurut cerita nenek saya mereka ikut tentara dalam perang kolonial dengan Aceh. Nenek dan kakek kami adalah asli orang yang jawa yang dibawa ke Aceh Besar  oleh kolonial Belanda. Kakek dan nenek waktu itu tinggal di Desa Lampakuk-Aceh Besar. Kemudian pindah ke Saree. Ibu dan bapak saya lahir, besar lalu menikah di juga di Lampakuk-Aceh Besar. Kemudian sama-sama pindah ke Saree. Saya dan beserta dengan lima keluarga akhirnya tinggal bersama di Saree. Bapak dan ibu kami sampai saat in masih berkebun di desa ini.
Pada tahun 1999, kami pernah tinggal di Saree Aceh ini hanya 6 KK (Kepala Keluarga), jumlah 6 KK itu masih bersaudara dengan saya. Saat itu, kami bersikeras untuk tidak mengungsi, karena disinilah tanah tempat kami mencari rezeki. Nenek kami pun kuburannya disini, dan kami tidak akan meninggalkan desa ini. Namun karena kondisi tak menentu pada tahun 2000 kami terpaksa mengungsi ke Lampakuk, beberapa bulan kemudian pada tahun 2001 kami kembali ke Saree Aceh, dan sampai detik ini kami ingin hidup terus di Saree Aceh ini. Kami percaya bahwa konflik sudah selesai, kami sangat senang dengan kondisi seperti ini. Sama seperti kami bangga atas identitas kami sebagai orang jawa.


Setelah perjanjian MoU Helsinki 2005 antara Pemerintah Indonesia-GAM, warga Saree Aceh sangat menikmati kembali berusaha dibidang perkebunan. Begitu juga dengan Mukhtar Bin Mariman. ”Setelah konflik mereda, kami ada peningkatan produksi, alhamdulillah lahan kebun saya sudah bertambah, dulunya saya hanya memiliki kebun 1 hektar, setelah damai Aceh ini saya telah membeli 2 hektar lagi dari hasil panen 3 tahun belakangan ini”.

Saat ini, dikebun 3 hektar itu, Mukhtar bersama keluarga menanam beragam jenis tanaman. Mulai dari ubi kayu, jagung, kacang tanah, ketela sampai dengan rambutan dan durian untuk tanaman jangka panjang.

Dari amatan saya, setiap waktu produktif, terutama pagi hari hampir tidak ada warga yang lalulang di sepanjang desa, kios yang berada di desa pun hampir tidak kita dapatkan pembelinya. “Biasanya kami warga disini, pagi pergi ke kebun, dengan membawa bekal makan siang, lalu sorenya baru pulang, jadi tidak ada waktu untuk berlama-lama menghabiskan waktu di luar”.
Di akhir wawancara (interview) sebelum pamit menuju Saree School sebagai homebase kami. Dari awal ketemu saya memperhatikam baju kaos hitam berlengan panjang yang dikenakan Mukhtar Bin Mariman bertulis PA (Partai Aceh). “Apa bapak mantan GAM ?” tanya saya. Dengan respek cepat ia menjawab. “Bukan, saya bukan mantan GAM, tapi saya jawa”, Kami pun tertawa bersama, sambil pamitan dan saling tukar nomor telepon.


Blog, Updated at: 12:33 AM

0 comments:

Post a Comment